by
Fauzi Arasj
Pekerjaan meneliti bagi sebagian orang yang tidak mempunyai sense dibidang ini akan menganggap pekerjaan ini sebagai suatu pekerjaan orang gila. Beberapa waktu yang lalu seorang dosen senior pernah mengatakan, jika ingin tahu bentuk orang gila, maka lihatlah para peneliti, kenapa bisa demikian.???. masalahnya, orang lain sudah enak enak tidur, peneliti masih asik utak atik data di komputer.
Sebetulnya melaksanakan penelitian itu merupakan sebuah pekerjaan yang menyenangkan, amat menyenangkan malah, kalau dalam mengerjakannya dilakukan dengan sepenuh hati, yang penting diingat, seorang peneliti harus tahu teori secara matang, minimal jalan yang akan ditempuh, dan untuk pekerjaan selanjutnya dapat dilakukan secara kolaborasi dengan orang lain. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan, malah akan lebih baik lagi, jika seorang peneliti mempunyai kemampuan yang komprehensif sejak di hulu sampai ke hilir, sehingga ruh atau jiwa dari pelaksanaan penelitian itu dapat melekat secara menyeluruh pada diri peneliti, semua lubang lubang permasalahan selama progress berlangsung akan dapat segera diketahui oleh peneliti untuk dicarikan jalan keluarnya.
Pengalaman menunjukkan hampir semua mahasiswa, sejak masih di D3 sampai ke S3, yang belum pernah melakukan penelitian atau yang sudah pakar melaksanakan penelitian, ternyata sebagai manusia dia selalu dihantui oleh situasi, ketika diharuskan membuat penelitian sebagai ujung akhir sebuah pelaksanaan pendidikan. Sebetulnya hal tersebut tidak perlu terjadi, hadapi saja semuanya dengan hati terbuka, akui saja sampai dimana batas kemampuan yang dimilik, dan untuk selanjutnya bisa dimintakan bantuan kepada orang yang lebih ahli. Sebetulnya, disinilah letak tugas dan fungsi dari pembimbing (promotor dan co-promotor) untuk membantu peneliti (mahasiswa) keluar dari permasalahan penelitian yang akan (sedang) dihadapiya, namun kebanyakan peneliti (mahasiswa) mempunyai beban psikologis yang tinggi ketika akan berhadapan dengan pembimbing (promotor dan co promotor), tidak terkecuali mahasiswa tingkat lanjut (s-3), karena selama ini selalu berpandangan bahwa pembimbing terlalu tinggi jaraknya dengan peneliti, atau sebaliknya panaliti yang mahasiswa menganggap sudah mejadi peneliti utama di kantornya dan banyak lebih tahunya, sehingga (kadang-kadang) menganggap promotor atau co promotor tidak tahu atau tidak bisa dan berkesan nggurui, kedua hal ini akan menimbulkan GAP psikologis antara peneliti (mahasiawa) dengan pembimbing atau promotor dan co nya. Oleh karena itu ada suatu kewajiban pula hendaknya bagi pembimbing (promotor dan co) untuk menurunkan derajat ketakutan mahasiswa ketika akan mereka minta dibimbing juga peneliria (mahasiswa) yang sudah berpengalaman dalam penelitian tidak ngeboss di ruang kuliah, kewajibannya untuk melepas baju peneliti senior atau utamanya ketika berada di ruang kelas atau dalam lingkup ke-mahasiswa-an nya, sehungga GAP bisa dilebur dn proses pembimbingan menjadi kondusive.
Kalau lah dicermati secara mendalam, maka pada dasarnya yang paling penting diantara proses pelaksanaan penelitian itu adalah dimilikinya sebuah IDE oleh peneliti (mahasiswa). Seorang mahasiswa, sebaiknya harusnya telah mempunyai IDE ketika akan berhadapan dengan pembimbingnya, jangan sekali sekali menghadap pembimbing tanpa ada aide, karena akan menurunkan kredibilitas mahasiswa dimata pembimbing, mempertunjukkan ketidak siapan mahasiswa dimata pembimbing. Oleh karena itu, mahasiswa harus mempunyai IDE dengan latar belakang kepustakaan yang kuat tentang ide tersebut, sehingga ketika terjadi diskusi dengan pembimbing, sudah mempunyai benang merah akan arah penelitian yang dimaui oleh mahasiswa, dan kewajiban pembimbinglah untuk meluruskan ide tersebut sehingga terujud menjadi sebuah usulan pelaksanaan penelitian (proposal). Perlu diingat oleh pembimbing bahwa tidak semua mahasiswa mempunyai kapasitas yang sama, oleh karena itu pembimbing harus mendasari pembimbingan dari mengetahui kapasitas mahasiswa, jangan dibalik, mahasiswa yang harus mengikuti kapasitas pembimbing dengan alasan kredibilitas pembimbing akan turun jika kedalaman penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa yang dibimbingnya terlalu dangkal. Namun harus diperhatikan batas kemampuan mahasiswa yang dibimbingnya, jangan dipaksakan sehingga keinginan mahasiswa untuk melaksanakan penelitian jadi mati, namun harus diurai perlahan lahan sehingga pemikiran mahasiswa yang buntu tidak jadi tambah buntu. Penulis selalu mengibaratkan mahasiswa/peneliti pemula sebagai sebuah pohon, misalnya kacang yang baru tumbuh, baru punya daun dua-tiga lembar dan sedang bergairah memamerkan daunnya yang tiga lembar itu, namun daun daun dipatahkan dengan kejamnya oleh pembimbing sebelum dapat berkembang untuk mempunyai daun ke empat, karena keinginan mahasiswa tidak sesuai atau searah dengan kemauan pembimbing, lantas, kapan kah kacang itu akan tumbuh dengan suburnya, kalau setiap daunnya tumbuh sudah dipatahkan..?, bukan tidak mungkin proses pembimbingan berubah menjadi neraka bagi mahasiswa dan pada akhirnya mahasiswa tidak dapat menyelesaikan pendidikannya. Sebaliknya, bagaimana dengan mahasiswa senior, yang sedang menyelesaikan pendidikan di jajaran S-2 dan atau S-3, hal ini akan lebih mudah lagi sebetulnya, karena mahasiswa tersebut sudah punya modal dasar yang kuat untuk melaksanakan sebuah penelitian, dan hanya butuh pencerahan dan pembetulan atau pelurusan atas ide yang sudah ada untuk diujudkan menjadi sebuah usulan penelitian (pra-proposal). Namun tidak sedikit diantara mahasiswa s-2 dan bahkan s-3 yang kecut ketika berhadapan dengan promotor, yang sebetulnya hal ini tidak perlu terjadi, karena ide yang dimiliki oleh mahasiswa s-2 atau s-3 sudah matang, (mungkin) seharusnya tugas promotor dan ko promotor (pembimbing) hanya membunyikan gong persetujuannya saja. Pengalaman penulis ternyata demikian, antara penulis dan promotor sering terjadi debat yang sengit namun sopan dan kondisive, tidak salah kalau punya waktu, seluruh pembimbing atau promotor/co kumpul bareng, membahas topik yang dihadapi mahasiswa, sehingga dapat dicari solusi atas permasalahan yang dihadapi mahasiswa, penulis mengalami hal itu, dan kebuntuan kebuntuan yang ditemukan karena bimbingan dapat cair saat itu. Pengalaman yang penulis alami adalah promotor dan co hanya meluruskan ide yang telah diuraikan penulis dan memberikan saran saran atas kekurangan yang terjadi untuk menyelesaikan penelitian.
Kebanyakan promotor/pembimbing untuk pertama kalinya mengarahkan mahasiswa untuk menuliskan idenya dalam bentuk tulisan, biasanya di BAB 1 pendahuluan yang memuat ide ide gila mahasiswa untuk melaksanakan penelitian yang harus diluruskan oleh promotor/pembimbing dan tidak jarang juga promotor/pembimbing tinggal mengiakan ide yang sudah dibuat oleh penulis karena sudah se-ide dengan pemikiran promotor.
Namun, disatu sisi juga tidak jarang terjadi dimana hubungan antara mahasiswa dan promotor menjadi tegang karena mempertahankan keinginannya (ego) masing-masing tanpa ada titik temu diantara keduanya, apalagi pembimbing itu lebih dari 1 orang, dan akan makin rumitlah masalah yang dihadapi mahasiswa jika diantara mahasiswa dan (ketiga) promotor/pembimbing tidak menemukan kata sepakat, yang ujung ujungnya akan dapat mematikan ide dan kreativitas mahasiswa untuk menulis dan menyelesaikan penulisannya. Pada dasarnya, membuat sebuah penelitian yang benar tidak lah sukar, kalau mahasiswa satu ide dengan promotor/pembimbing, malah akan menjadi suatu pekerjaan yang menyenangkan kedua belah pihak karena didalamnya ada win win solution diantara kedua pihak, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar